Untuk pertama kalinya ia tumpahkan airmata kesedihannya saat usianya belum genap sepuluh tahun. Saat itu, di depan matanya ia menyaksikan kedua orang tuanya dan ratusan ribu bangsanya dibantai dan diusir dari Deir Yasin. Itulah saat pertama ia mengenal langsung kekejaman Yahudi yang selama ini hanya didengarnya dari cerita ibunya, dan saat itu pula tergambar bayang-bayang penderitaan bangsanya Kemudian tangis kesedihan itu secara beruntun menerpanya, ketika Irgun membawa satu persatu orang-orang tercintanya tanpa pernah lagi kembali. Saat ia melepas suaminya pada perang Ramadhan (1973), saat itu Amir, putera mereka, baru saja melewati satu tahun usianya. Amir masih terlampau kecil untuk memahami, ketika suatu senja seseorang datang mengkhabarkan kesyahidan ayahnya.
Sudah terbayang masa depan hidupnya, seorang janda dan seorang bayi di tengah penindasan Yahudi. Saat itu tidak ada yang ingin dilakukannya kecuali menangis. Tapi tidak, dia tidak melakukan itu. Saat itulah ia memulai tekadnya untuk tidak ingin menambah kegembiraan orang-orang Yahudi dengan airmata kesedihannya. Lebih dari itu ia tidak ingin mengajari Amir menjadi pemuda yang lemah. Dan sejak saat itu pula, setiap kesedihan yang menerpa, digubahnya menjadi senandung-senandung jihad yang dia bisikkan ke telinga Amir, hingga memenuhi rongga dada anaknya. Dia masih mampu bertahan untuk tidak menangis saat pembantain
Kata-kata pemuda tampan dihadapannya telah mengikis kekukuhan benteng pertahanannya. Dicubanya untuk mengelak dan memujuk hatinya, bahawa yang didengarnya beberapa minit yang lalu hanyalah mimpi. Tapi susuk di depannnya teramat nyata untuk dia mengingkari. Amir Syuhada, pemuda tampan didepannya itu, satu-satu puteranya, kembali mengulang kata-katanya, "Bonda, izinkan anakanda pergi berjihad.” Suara itu terdengar lembut dan penuh harap, seperti
Wanita tua itu menarik nafas panjang menahan esak yang satu persatu saat keluar. Serasa masih terngiang di telinganya 23 tahun yang lalu, kalimat senada diucapkan suaminya. Dengan berat hati dilepasnya pemergian suaminya. Dia masih menyimpan sedikit harapan bahawa suaminya akan kembali, meskipun kenyataan yang terjadi tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkannya. Tapi kali ini hatinya teramat berat, kerana dia tahu benar apa yang dimaksud dengan kata "jihad" oleh Amir anaknya. Baru dua hari yang lalu Amir dengan bersemangat bercerita tentang kawan-kawannya yang syahid dalam aksi bom syahadah. Itu ertinya, ia harus menguburkan seluruh harapan akan kembalinya puteranya dengan selamat, bahkan sepotong tubuhnya sekalipun.
"Amir Syuhada" (pemimpin para syahid), perlahan diejanya nama puteranya. Nama yang diberikan oleh suaminya. Nama yang menyimpan sebuah cita-cita amat dalam. "Aku tidak berharap dia menjadi orang terkenal di dunia kerana memimpin sebuah angkatan perang, tapi aku ingin dia menjadi orang terkenal di akhirat kerana memipin rombongan syuhada. Dia harus menjadi orang yang pertama menyambut setiap kali kesempatan jihad itu datang," begitulah harapan suaminya. Betapa cepat perjalanan hidup. Betapa cepat harapan-harapan berganti. Seminggu yang lalu, Amir dengan malu-malu mengungkap keinginannya untuk mengakhiri masa bujangnya dengan membina sebuah rumah tangga. Ya, Amir ingin menikah. Sudah terbayang seorang gadis cantik menjadi menantunya, bahkan sudah terbayang pula cucu-cucu yang akan meramaikan rumah buruknya ini. Namun kehendak ternyata berkata lain. Bukan perlengkapan nikah yang dibawa pulang puteranya hari ini. Tapi sepotong baju khusus dengan kabel-kabel di
Sekilas wanita tua itu terhenyak mendengar petuturan anaknya, tapi ia tetap diam tak menyahut. Amir melanjutkan ucapannya, "Bukankah bonda yang setiap malam berdoa agar anakanda menjadi anak yang soleh? Inilah anakanda yang berusaha mewujudkan harapan bunda. Bukankah bonda selalu menasihati anakanda untuk sentiasa istiqamah memegang panji dakwah ini, dan sentiasa memenuhi hidup dengan jihad dan pengorbanan? Menegakkan kalimah tauhid, melindungi kaum yang lemah, membela kebenaran dan keadilan? Bukankakah bonda selalu mengingatkan bahawa kemanisan iman hanya dapat dirasakan oleh orang yang menegakkan dalam dirinya, bahawa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahawa kemenangan dan kejayaan hakiki hanya akan diberikan pada pejuang yang telah berkorban, kuat menahan penderitaan dan kepapaan, bahawa ketabahan dan kesabaran berjuang hanya akan diberikan pada mukmin yang mendekatkan dirinya kepada Allah? Bukankah bonda yang berulangkali mengatakan hal itu? Inilah anakanda Amir yang berusaha menjalankan nasihat Bunda."
Amir mencuba untuk tetap tersenyum, sambil tangannya menggenggam telapak tua ibunya. Dulu ketika masih kecil dia suka merengek dan menarik-narik tangan itu jika menginginkan sesuatu. "Tapi aku tidak berdoa agar kamu mati," perlahan ibunya bereaksi. Dan masih dengan senyuman Amir berucap, "Bonda...," dengan
Sekiranya Allah menghendaki keberkahan
Dengan menghancurkanlumatkan tubuhku
Aku tak peduli, asal aku mati sebagai Muslim
Untuk Allah-lah kematianku pasti.
"Sungguh Bonda, jika tegaknya kalimat Allah di bumi ini harus dibayar dengan carikan- carikan tubuh anakanda, anakanda tidak akan pernah undur. Bonda pula yang berkisah tentang kepahlawanan Ikramah dalam perang Yarmuk, ketika dia berseru, "Siapa yang sedia berjanji setia kepadaku untuk mati?" Kemudian 400 mujahidin serentak menyambutnya, dan mereka tidak berundur sejengkal pun sampai menemui kesyahidan. Inikah yang hendak bonda katakan bunuh diri...? Tidak Bonda, anakanda telah menjual diri ini pada Allah, biarkan anakanda menepati janji." Sejenak ruang itu hening. Esakan wanita tua itupun sudah lama reda, hanya genangan bening yang masih tersisa di sudut matanya. Meski tanpa harap, dicubanya untuk terakhir kali memujuk puteranya, seperti mengingatkan ia bertanya, "Bukankah beberapa waktu lalu kau telah berniat untuk menikah?" Masih dengan senyumnya, Amir menjawab, "Bonda, sekian lama anakanda belajar tentang erti sebuah cinta. Dan anakanda telah temui, bahawa cinta yang tertinggi hanyalah untuk Allah. Sekian lama anakanda memendam rindu untuk bertemu Allah, dan saat ini kesempatan itu telah datang. Sungguh Bonda, anakanda tidak ingin kehilangan kesempatan." Diucapkannnya kalimah terakhir dengan nada yang tegas.
Wanita tua itu kembali menarik nafas panjang. Ditatapnya pemuda tampan di hadapannya, seakan dia ingin memastikan bahawa pemuda di hadapannya itu benar-benar Amir anaknya. Dia sebenarnya sudah menyedari sejak lama, bahawa saat-saat seperti ini pasti akan terjadi. Dia pun tahu tak seharusnya menghalang maksud puteranya. Amir bukan lagi kanak-kanak kecil yang boleh dipulas telinganya kalau nakal, atapun dipujuk dengan sepotong kuih agar tidak menangis. Amir kini telah membesar menjadi pemuda dewasa, bahkan mungkin terlalu dewasa untuk pemuda seusianya. Dia tahu bahawa kata-kata yang diucapkan Amir ada kebenarannya. tapi dia merasa begitu berat untuk memujuk naluri keibuannya. Sejak Amir terlibat dengan berbagai aktiviti HAMAS, dia sebenarnya telah berusaha meyakinkan hatinya, bahawa Amir bukanlah miliknya. Benar, ia telah melahirkannya, memberinya kasih sayang, tapi ia sama sekali tidak berhak mementingkan keinginannya. Benar dia telah menyerikan rumah bagi raganya, tapi tidak pada jiwanya, kerana jiwanya telah menjadi penghuni rumah masa depan yang kini tengah dirisaukannya. Amir telah menjadi milik zamannya, sejarahnya dan tantangannya.
Dia hanyalah sebatang busur, dan Amir adalah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian. Direntangkan-Nya busur itu dengan kekuasaan-Nya hingga anak panah itu meluncur jauh dan cepat. Meliuk dalam suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemahan. Sang Pemanah mengasihi anak panah yang meluncur laksana kilat, sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap. Dia seharusnya gembira, 24 tahun ini mendapatkan kesempatan menyertai perjalanan sejarah Amir. Dia seharusnya bangga kerana benih yang dia tanam dengan senandung- senandungnya telah tumbuh subur, dan kini saatnya berbuah. Tidak , dia tidak boleh terbawa perasaannya. Dia tidak boleh menghalangi buah yang telah ranum untuk dipetik. Di tatapnya wajah pemuda di hadapannya, sungguh tampan dan bercahaya, persis wajah asy-syahid suaminya. Sorot matanya tajam, menyimpan semangat yang bergelora. Sama sekali tak ditemukan keraguan di
Perlahan tangan tuanya meraba wajah itu. Wanita tua itu
Lepas Isya' di sebuah perkampungan di jalur
Ibunda...
Kau ucapkan selamat tinggal
tatkala aku berangkat berjihad
Dan kau katakan padaku
Jadilah singa yang mengamuk meraung
Kemudian aku berlalu
mencatat segala pembataian dengan darahku
Bonda jangan kau bersedih
Kini belengguku berat Bonda
Namun...kemahuanku takkan kalah
Penjara dan siksaan mereka tak menakutkanku
Aliran elektrik tak kuasa menyengatku
Bonda jangan bersedih
Goncangan kanku jadikan pintu jahim
yang meledak menghentam para musuh
Betapapun kuatnya belenggu
Dengan sabar dan tekad bulat kurantas belengguku
Bonda jangan kau bersedih
Bersabarlah Bonda
Jika tiada lagi pertemuan
Dan semakin panjang malam mencengkam
maka esok kita
Di atas negeri kita sendiri
Bonda...jangan kau bersedih
"Wahai, kaum muslimin! Lawan dan musuhmu berani menyerang dan menjajah kamu hanyalah karena Allah meninggalkan kamu. Janganlah kamu mengira bahwa musuhmu telah menraih kemenangan atas kamu tetapi sesungguhnya Allah Yan Maha Pelindung dan Maha Penolong telah berpaling dari kamu. Demi Allah, musuh-musuhmu bukannya kuat, tetapi umat Islam yang lemah." (Asy-Syahid Hasan al-Bana)
"Saya mengagumi seorang pemuda karena keberanian dan keploporannya dan saya mengagumi seorang pemudi karena adab dan sifat malunya. Sebab, keberanian adalah pelengkap akhlak dan sifat utama pemuda, sedangkan malu adalah kecantikan pemudi yang paling utama." (Mustafa Luthfi al-Manfaluthi)